Sabtu, 10 Oktober 2009


BILA MUSLIMAH MENANGGALKAN JILBAB

Pembacaan ulang teks agama

“Hai Nabi, Katakalah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri orang orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu, dan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang” (QS. Al Ahzab 33:59)

Merupakan hal yang sangat lumrah pada zaman sekarang bila para perempuan tampil didepan publik tanpa menggunakan jilbab atau penutup rambut, mereka tidak memakainya bukan berarti berniat melanggar syariah atau aturan agama dengan membuka aurat. Memang menurut konsep fikih, rambut wanita adalah bagian dari aurat yang harus selalu ditutup bila berada didepan orang yang bukan mahromnya (bukan keluarganya).

Keberadaan mereka didepan publik seperti menjadi pembaca berita Televisi, sebagai presenter atau Host, acting dalam sebuah film atau sinetron, bahkan aktivitas sebagai pekerja perusahaan atau menjadi buruh pabrik, begitu juga berkerja diladang pun mereka sangat kerepotan dan kadang canggung untuk memakai jilbab, atau bahkan sudah menjadi kebiasaan untuk tidak menggunakan jilbab, mungkin juga hanya sekedar toleransi dengan lingkungan yang kebanyakan tidak berjilbab.

Gaya dan prilaku ke-tidak jilbab-an tersebut, sekilas memang ada pelanggaran atas ayat diatas, namun sebetulnya teks tersebut dimaksudkan “hanya” untuk memberikan legitimasi identitas kaum muslimah yang merdeka untuk tampil beda dibandingkan dengan perempuan budak, sehingga tidak menjadi obyek pelecehan seksual oleh para lelaki dimasa itu. Jadi bukan menjustifikasi kewajiban berjilbab, namun bertujuan yang demikian itu agar mereka mudah dikenal (dzaalika adna an yu’rofna).

Sedangkan firman Allah dalam QS An Nur 24:31 “dan jangan lah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak” terjadi silang pendapat dikalangan mufassirin dalam memahami makna kalimat “illa ma dloharo minha” (kecuali yang biasa nampak) beberapa penafsir menyampaikan maksudnya adalah lengan atau setengah lengan, dan juga setengah betis, (pendapat dari Sufyan Tsaury, Ibrohim al Nakho’i, Al Thobary, Ibnu Abbas, Miswar bin Makhromah dan lainnya).

Para ahli fikih menyatakan bahwa rambut wanita termasuk aurat berdasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (4:62) dari Aisyah istri Rasulullah SAW yang bercerita sewaktu Asma binti Abu Bakar bertandang kerumahnya, dengan mengenakan pakaian tipis, maka Rasulullah langsung berpaling seraya mengatakan :”Hai Asma, bila wanita telah mencapai usia menstruasi maka tidak boleh terlihat (badannya) kecuali ini dan ini” Rasulullah menunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya. Abu Dawud sebagai periwayatnya menyatakan hadis ini termasuk mursal (munqothi dalam istilah ilmu hadis) yang dilakukan oleh kholid (tidak bertemu) dari Aisyah, dan salah seorang periwayatnya lemah, berarti hadis tersebut adalah Dloif.

Pada zaman Rasulullah SAW, pergaulan lelaki dan wanita adalah bebas tidak tersekat pemisah-pemisah dengan batas yang kadang mendiskriditkan sebagian dari yang lain. Mereka melakukan berbagai aktivitas dengan tindakan dan kewajiban yang sama dan dilakukan secara bersama-sama pada tempat yang satu, seperti pelaksanaan sholat jamaah, manasik Haji, begitupula pelaksanaan wudlu, diceritakan oleh Al Bukhori dalam kitabnya Shohih Bukhori dari Abdullah ibn Umar (1:82:190) “para lelaki dan wanita pada zaman Rasulullah berwudhu secara bersama-sama” dan diriwayatkan Al Hakim dalam Al Mustadrok 1:266:577: “dari Ibnu Umar berkata: kita lelaki dan perempuan mengambil air wudhu dan membasuh tangan bersama-sama ditempat yang satu pada zaman Rasulullah”

Mungkin hadist seperti ini agak janggal didengar oleh para periwayat hadist, dan untuk menghilangkan keraguan mereka atas cerita tersebut mereka menanyakan kepada Imam Malik (periwayat ke dua setelah Ibnu Umar): lelaki dan perempuan jadi satu ? Di jawabnya : ya. Ditanyakan pula : terjadi di zaman Rasulullah ?Di jawab pula :Ya.

(Musnad Ahmad 2:113:5928)

Dalam kegiatan berwudlu, wanita tidak mungkin sambil mengenakan jilbab, bahkan anggota badan yang perlu dibasuh ketika berwudlu harus terbuka. Kondisi seperti ini berlangsung sampai pemerintahan Umar ibn Khathab, sewaktu beliau mendatangi kolam air yang di gunakan sebagai tempat wudlu lelaki dan perempuan secara bersama-sama, Umar memukuli mereka dengan tongkatnya sambil memerintahkan pemilik kolam tersebut untuk membuat terpisah antara lelaki dan perempuan.

Sewaktu umar menceritakan peristiwa tersebut kepada Ali ibn Abi Thalib sambil minta pendapatnya dengan bangga mengatakan : apa pendapatmu? Jawab Ali dengan sinis: “engkau hanyalah seorang pemimpin (bukan pengatur agama-Musyri’), bila engkau memukuli mereka, maka engkau akan hancur dan menghancurkan mereka”

(Mushonnaf Abdur Rozaq 1:75:244)

Pendapat Ali ini menunjukkan penolakan atas aturan umar yang berbau Bid’ah, karena pada zaman Rasulullah tidak dilakukan pemisahan tempat wudhu bagi lelaki dan perempuan, apa lagi disertai dengan ancaman hukuman yang cukup berat yaitu dengan memberlakukan hukum cambuk bagi pelanggarnya.

Dalam hal pakaian seseorang, kita bisa memperhatikan firman Allah (QS. Al A’raf 7:26) “Hai anak-anak adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian yang menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa (yang selalu menjadikan takwa kepada Allah) itulah yang paling baik” dengan demikian pakaian yang dikehendaki dalam Islam yang bila dikenakan bisa mewujudkan “Kehormatan” dalam masyarakat, (bukan menjadikan celaan dan cemoohan), bagai manapun mode dan desainnya. Begitu pula pakaian tersebut mampu membendung pelbagai pelecehan seksual, dan rangsangan serta membangkitkan libido lawan jenis, yang akhirnya dapat menimbulkan petaka bagi yang memakai maupun yang melihat.